“Putih-hitamnya“ Matt Cipitt
Sabtu, 08 November 2008
Oleh ERWAN SURYANEGARA bin ASNAWI JAYANEGARA bin SYAMSUDIN NATORADIN
MALAM itu, pukul 19.10 WIB, seorang ibu yang mulai lanjut usianya membukakan pintu rumahnya.
“Dengan siapo?” tanya meloncat dari mulutnya.
“Kawan,” jawab Cipitt.
Memang, saat itu saya, dengan dua kawan, bertandang ke daerah tepian Sungai Musi, di Seberang Ulu, 14 Ulu, Palembang, tepatnya di rumah kontrakan salah seorang pelukis Palembang bernama Ahmad Nawir, yang oleh kawan-kawan dekatnya lebih dikenal dengan panggilan “Matt Cipitt”.
Di rumah itu, Matt Cipitt tingal bersama ibunya yang bernama Latifah, berasal dari Toboali-Bangka, sementara sang Ayah tercinta bernama Abdul Hamid berasal dari Tulungselapan-Ogan Komering Ilir (OKI), yang meninggal dunia pada tahun 2005.
Matt Cipitt, dilahirkan di Sungsang, Banyuasin, sebuah daerah perairan timur Sumatra Selatan, lebih kurang tiga puluhan tahun yang lalu atau tepatnya pada 4 Juli 1978. Masa kanak-kanak Matt Cipitt, dilaluinya bersama kedua orangtuanya di Sungsang. Menginjak usia remaja, Matt Cipitt pindah ke Palembang mengikuti orangtuanya dan bersekolah di SMP Negeri 15 Palembang, kemudian melanjutkan ke STM Negeri 1 Palembang, hingga tamat mendapatkan ijazah.
“Selain melukis, aku jugo seneng dengan musik, terutamo maen gitar (di samping melukis, saya juga hobi dengan musik terutama bermain gitar),” ungkap Cipitt dengan menundukkan kepalannya, ketika ditanyakan apa saja hobinya.
Dunia Kreatif Matt Cipitt
SEJAK usia remaja hingga kini, Matt Cipitt memerlihatkan konsistensinya dalam menggeluti dunia seni, khususnya seni lukis. Kemampuan atau bakat melukis yang dimilikinya terasah dari waktu ke waktu, seiring kegigihannya menimba pengalaman dengan merantau ke beberapa kota, dan bergaul dengan beberapa seniman yang ada, seperti di Tanggerang, Jambi, Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Yogyakarta, Jakarta, dan Bengkulu.
Berbicara style atau gaya lukisannya, tampaknya Matt Cipitt lebih tertarik kepada jalur realistik dan impresionistik, hal itu tentunya sejalan dengan kecenderungan atau pilihan-pilihan tematik lukisannya yakni sosial-humanis, termasuk juga lingkungan. Saat ini Cipitt sedang menggarap lukisan-lukisan putih-hitam.
Ketika ditanya seputar pengalaman pamerannya, diawali dengan senyuman, sebagaimana kebiasaan khasnya, Cipitt menjelaskan sesungguhnya dia sudah cukup banyak berpameran, tetapi cepat dia tambahkan pula kiranya hal ini tidak perlu dipublikasikan, tanpa memberikan alasan.
Sewaktu diminta menyebutkan kegiatan pameran mana yang paling berkesan,Matt Cipitt spontan menjawab, “Tahun 2007 di Galeri Nasional.”
Lebih lanjut diceritakannya, sekitar Juni 2007, mereka berempat; R. Yan Syarief, Edy Fahyuni, Samanhudi, dan Matt Cipitt (Ahmad Nawir) mengirimkan karyanya untuk diseleksi dalam Pameran Seni Rupa Demi Massa, di Galeri Nasional Jakarta. Lukisan karya Edy dan Matt Cipitt dinyatakan lolos seleksi dan berhak ikut pameran. Lukisannya itu berjudul “Emotional Insulation”, medianya mixed yang terdiri dari pensil, carchoal, akrilik di atas kanvas, buah karya kreatifnya pada tahun itu juga (drawing putih hitam) dengan ukuran 133 cm X 90 cm.
Melalui karyanya itu, Cipitt berhasil mengolah imajinasi intuitifnya secara cerdas, dan tepat dalam mengambil keputusan akan pilihan idiom-idiom yang harus ia gunakan atau visualkan, dalam membahasarupakan gagasannya tentang sodoran tema “Demi Massa” (ruang dan waktu) yang digelindingkan oleh kurator Galnas.
Icon kereta api yang berpenumpang penuh sesak, merupakan sebuah kecerdasan yang mungkin sangat disadari Matt Cipitt untuk merepresentasikan “kecenderungan tidak tepat waktu” (pengelola KA) dan “menipisnya kesadaran ruang” (baik para penumpang maupun pengelola KA).
Karya Matt Cipitt yang sudah menjadi koleksi Direktur Bank Mandiri
Perempuan berbaring di atas ranjang besi di tepian lintasan atau rel kereta api, pesawat radio, handphone, dan bertumpuknya barang-barang di sisi kiri kanan rel, juga merupakan icon-icon yang merepresentasikan adanya “tidak tepat ruang” serta teknologi komunikasi dan informasi yang seakan “mempertidak” adanya keterbatasan manusia pada ruang dan waktu.
Awal September 2007, Lukisan putih-hitam (drawing) berjudul “Benteng Kuto Besak” karya Matt Cipitt lainnya, dinyatakan terpilih dan dikoleksi oleh Direktur Bank Mandiri di Jakarta. Setelah pada tanggal 10 September 2007, bersama dua lukisan lainnya: “Penari Tanggai” karya Suparman, dan “Family” karya Samanhudi diseleksi untuk dikoleksi oleh Direktur Bank Mandiri.
Saat ini selain melukis keseharian Matt Cipitt dihabiskannya dengan menggarap benda-benda kerajinan (craft) laker di Andy Galeri. Dari hasil kerja keseniannya itu Matt Cipitt dapat membantu beban ekonomi ibunya.
Berbicara target atau proses kesenian jangka pendeknya, Matt Cipitt sedang mempersiapkan karya-karya lukisannya untuk digelar dalam sebuah pameran yang menurutnya juga sedang dipersiapkan.
Semoga Sukses! [*]
0 komentar:
Posting Komentar